Buka twitter pagi ini, nemu link artikel yang beneran keren abis. Mewakili gw banget. Link asli bisa dibuka di :
https://tirto.id/menggoda-orang-fobia-bukan-candaan-lucu-cws7?utm_source=Twitter&utm_campaign=Midnight&utm_medium=Social
Buat yang males buka link aslinya, saya copas aja deh kesini. Baca yaaa, biar tau betapa ga bijaknya menjadikan phobia seseorang sebagai bahan candaan
13 September, 2017
dibaca normal 4:30 menit
Fobia adalah merupakan masalah kecemasan. Namun, banyak pengidap
fobia menjadi sasaran kejahilan yang berujung pada serangan panik.
tirto.id
-
Waktu menunjukkan pukul 22.00. Ketika itu, sebuah kantor media masih
dipadati karyawannya yang lembur untuk memantau acara debat Pilkada DKI
Jakarta. Sembari mereka bekerja, kotak-kotak makanan didistribusikan.
Tak ada keanehan yang tampak pada diri karyawan-karyawan di sana,
kecuali satu orang yang dengan cemas memperhatikan rekan-rekannya yang
mulai membuka kotak makanan tadi.
“Kenapa itu si Sofyan?”
celetuk salah satu karyawan kepada teman sebelahnya yang lebih dulu
bergabung di perusahaan itu. “Oh, dia fobia pisang.”
Si karyawan
penanya masih terheran-heran dengan jawaban temannya saat atasan mereka
berkata kepada Sofyan, tak jauh dari mereka berdua, “Udah, Sof. Udah
dikumpulin, kok, pisangnya. Udah enggak ada lagi.”
Kali lain,
karyawan lain sedang memasak di dapur kantor. Tak sampai sepuluh detik
setelah Sofyan menanyainya sedang masak apa, ia kembali ke ruangan dan
tak mau menjamah dapur sampai karyawan itu kelar memasak.
“Kenapa
lu?” begitu Sofyan ditanyai karyawan yang seruangan dengannya. Ekspresi
Sofyan memang mendadak kecut setelah datang dari dapur.
“Enggak apa-apa… Ada yang lagi goreng pisang aja di dapur.”
Fobia pisang Sofyan berawal sejak masa kanak-kanak. Dulu, ia sering diajak ikut kerja ayahnya yang seorang supplier buah.
Pasar induk adalah lokasi yang sering mereka datangi. Suatu kali ketika
berada di sana, Sofyan kecil berlari-lari hingga terjatuh tepat di atas
tumpukan pisang busuk. Sejak saat itu, gambaran pisang di benaknya
berubah menakutkan. Bisa-bisa, ia mendadak mual, muntah, atau menangis
saat orang menyodorinya pisang.
Lain Sofyan, lain Aulia. Sejak
kecil, laki-laki ini memang tidak suka pada hal-hal yang berhubungan
dengan rambut semacam sisir, bando, ikat rambut, atau jepit rambut.
Namun, dari semua itu, ia paling benci sisir. Untuk merapikan rambut
saja, Aulia sering harus dipaksa keluarganya lebih dulu.
“Saya merasa sisir itu kotor, sih,” demikian alasan Aulia.
Jangan bayangkan rambut laki-laki ini tumbuh panjang dan berantakan.
Rambutnya tak terlihat lebih panjang dari batas tengkuk, pertanda ia
memangkasnya secara reguler. Lantas, bagaimana Aulia menghadapi situasi
bercukur bila ia sebegitu bencinya pada sisir?
“Dulu, di dekat
rumah saya di Medan, memang ada tukang cukur langganan. Sejak kecil
sampai kuliah, saya tak bermasalah bercukur dengan tukang langganan saya
ini karena dia tahu, saya nggak suka sisir. Jadi, dia pakai ketam
setiap mencukur rambut saya. Nah, saat bekerja di Jakarta, saya memilih
dicukur oleh teman saya yang memang mengerti saya punya problem dengan
sisir.”
Kecemasan, Fobia, dan Ketakutan
Apa yang dialami Sofyan maupun Aulia memang tergolong ‘langka’.
Ketakutan berlebihan terhadap suatu obyek yang bisa diterima oleh
orang-orang kebanyakan. Dalam psikologi, hal ini dikenal dengan fobia.
Sering kali, ketakutan dan fobia dipadankan. Padahal, kedua hal ini
memiliki pengertian berbeda. Ketakutan adalah reaksi alamiah yang muncul
ketika seseorang menghadapi situasi bahaya. Umumnya, ketakutan
menimbulkan opsi fight (menghadapi kondisi berbahaya) atau flight (kabur dari hal yang ditakuti) yang dapat dipilih seseorang.
Saat seseorang melihat anjing di tengah jalan misalnya, bisa saja dia
memilih tetap melangkah dengan tenang meski dalam pikirannya terdapat
bayangan akan diserang atau digonggongi si anjing, atau justru memilih
lari tunggang langgang. Bisa jadi ketakutan ketika berhadapan dengan
anjing dilandasi trauma pernah digigit atau mendengar mitos bahwa setiap
anjing itu galak dan suka menyerang. Sebatas ini, ia dikatakan memiliki
ketakutan, bukan fobia.
Lain kasusnya bila ketakutan itu
berlangsung terus menerus dalam jangka waktu lama, terhadap hal yang
irasional, dan kerap hadir tanpa alasan yang jelas. Fobia berpotensi mengganggu aktivitas seseorang dalam keseharian. Contohnya, seseorang mengalami fobia kegelapan lantaran membayangkan akan muncul monster atau sekelebatan bayangan.
Atau
seseorang yang fobia darah, tetapi bekerja sebagai jurnalis dan
ditugaskan meliput perang atau korban bencana alam. Jika tak bisa
mengatasi permasalahan psikologisnya ini, akan banyak hambatan yang
harus dihadapinya, terlebih ketika tidak ada siapa pun yang bisa
menemani atau mengerti kondisinya.
Baca juga: Mereka yang Takut Menikah
Saat berbelanja di minimarket misalnya, Sofyan acap kali meminta kasir
untuk memindahkan pisang yang diletakkan di dekat tempat membayar
belanjaan. “Kalau enggak, gue tutup hidung atau alihkan pandangan ke
arah lain,” ujarnya. Keengganan Sofyan untuk melihat pisang memang
sebegitu besarnya, sampai-sampai ia merasa bisa mencium baunya sekalipun
pisang di dekatnya dalam kondisi terbungkus.
Fobia merupakan
salah satu bentuk gangguan kecemasan. Apakah kecemasan itu masih bisa
ditoleransi atau dikatakan sebagai kelainan bergantung pada norma budaya
yang berlaku. Ketakutan berlebihan terhadap ketinggian lebih mungkin
ditoleransi dibanding ketakutan berlebihan terhadap pisang, sisir, atau
gambar lubang pada tubuh (trypophobia).
Baca juga: Film It dan Kenapa Badut Bisa Jadi Amat Menyeramkan
Dalam DSM V—kitab pegangan pakar psikologi—, fobia disebut-sebut dalam tiga jenis gangguan kecemasan.
Pertama,
fobia spesifik, yakni kecemasan berlebihan terhadap obyek atau situasi
spesifik. Misalnya ruangan sempit, laba-laba, atau badut.
Berikutnya
adalah fobia sosial atau gangguan kecemasan sosial. Hal ini merujuk
kepada kecemasan berlebihan terhadap interaksi sosial atau situasi yang
memungkinkan seseorang dihakimi orang lain.
Terakhir, agoraphobia,
kecemasan berlebihan ketika berada di luar rumah atau di tempat-tempat
publik semacam transportasi massa, tempat wisata, atau pusat
perbelanjaan. Orang-orang dengan agoraphobia berpikir, saat berada di luar rumah, mereka akan terkena bahaya dan sulit sekali mencari pertolongan.
Lebih lanjut mengenai perbedaan fobia dan ketakutan biasa, fobia dapat
menimbulkan gejala-gejala fisik yang terus berulang setiap kali
pengidapnya berhadapan dengan hal yang ditakuti. Berkeringat, merinding,
gemetar, sakit kepala, jantung berdegup kencang, mual, ingin pingsan,
sulit bernapas, mendengar denging di telinga, serta sering ingin ke
toilet adalah contoh gejala serangan panik yang dipicu oleh fobia.
“Saya bisa langsung merinding dan geli kalau melihat sisir. Di tengkuk
rasanya kayak ditusuk-tusuk,” aku Aulia saat ditanya reaksi ketika
fobianya muncul.
Perundungan dan Fobia
share infografik
Semakin aneh fobia, semakin mungkin seseorang yang mengidapnya dianggap
mengada-ada. Bahkan tidak jarang, orang sekitarnya malah menggoda dan
menjejalinya dengan hal yang ia takuti. Pernah suatu kali, tangan Aulia
dipegangi oleh temannya yang memang tahu ia fobia, lantas ia disisir
paksa. Ia sampai merasa sakit kepala berat dan muntah-muntah setelahnya.
Keadaan serupa juga sempat dialami Sofyan. “Pas gue ulang tahun, salah
satu teman bilang mau kasih kejutan. Gue disuruh buka bagasi mobilnya.
Saat gue buka, isinya setandan pisang. Setelah itu, gue langsung nangis
jerit-jerit,” kenangnya.
Bukan hanya itu. Masih ada teman kantor
Sofyan yang suka menggodanya. “Kayak pas buka nasi kotak, dia bilang,
‘Awas, Sof, ada pisangnya lho, di dalem.’ Gue jadi takut duluan, kan.
Padahal, enggak ada pisang di dalam kotak makanannya'.”
Meskipun
fobia bisa memicu serangan panik, tidak banyak yang menyadari hal ini.
Pengabaian terhadap fakta tersebut menyebabkan sebagian orang
menormalisasi candaan terhadap pengidap fobia. Alih-alih membuat mereka
tak fobia lagi, orang-orang ini justru memperparah gangguan kecemasan
yang dialami para pengidap.
Perundungan tak mesti dilakukan
langsung secara fisik atau lewat kata-kata kasar. Lewat kesengajaan
menyerang kelemahan pengidap fobia pun, seseorang bisa dikatakan
merundung. Terlebih jika tujuannya ialah menertawakan atau mempermalukan
di depan umum.
Perundungan tak melulu mengekori fobia yang diidap seseorang. Ada kalanya ia malah menjadi sumber dari fobia.
Memang benar, menurut sejumlah psikolog, faktor genetis memberi
sumbangsih terhadap fobia yang seseorang miliki. Begitu pula dengan
reaksi kimia yang terjadi di otak sehingga seseorang tak merespons hal
yang ditakutinya sebagaimana mayoritas orang.
Namun yang patut dicatat, fobia juga bisa terjadi karena adanya kombinasi faktor biologis dan lingkungan sekitar.
Pengalaman negatif pada masa lampau bisa membuat orang benci setengah
mati terhadap sesuatu, bahkan menunjukkan gejala perubahan fisik
mendadak.
Pengalaman Sofyan yang tergolong trauma adalah salah
satu contohnya. Atau, yang terkait dengan perundungan, perolokan di
sekolah yang kerap dialami anak-anak bisa membuat mereka menolak ke
sekolah, bahkan sampai ke titik school phobia.
Baca juga: Presiden Bicara Soal Perundungan di Hari Anak Nasional
Perundungan yang dialami pengidap fobia sekolah tidak hanya bisa datang
dari sekolah seperti dari teman sepergaulan atau guru yang mengeluarkan
kata-kata pedas. Di rumah, seseorang pun bisa mengalami perundungan
yang membuatnya malas belajar, nilai akademis turun, dipandang rendah
oleh guru dan kawan-kawan, sehingga keengganan datang ke sekolah pun
merangkak naik.
Mereka yang mengalami fobia sekolah bukan sekadar malas. Gejala-gejala sangat mengganggu
bisa muncul bila mereka tetap dipaksa ke sekolah: sakit perut, sakit
kepala, mual, tantrum, berteriak-teriak tanpa alasan jelas, atau
menendang-nendang. Untuk menghindari munculnya gejala seperti ini,
mereka lebih memilih mengurung diri di kamar atau bepergian ke tempat
lain asalkan bukan sekolah.
Sebagai salah satu bagian dari
gangguan kecemasan, fobia sebenarnya bukanlah hal yang lucu untuk
dijadikan candaan. Konsekuensi tak sepele mesti dihadapi si pengidap,
tetapi sayangnya, tidak selalu orang sekitar memahami masalah psikologis
yang dia alami.
Baca juga
artikel terkait
PSIKOLOGI
atau
tulisan menarik lainnya
Patresia Kirnandita
(tirto.id - ita/msh)