November,
Bandara ini terlalu
ramai, dan suara yang keluar dari handphone tanpa headset Bluetooth itu terlalu
beradu dengan keadaan sekitar.
Dan seperti biasanya,
pesawat tanpa pengumuman delay itu tetap baru memanggil penumpangnya masuk melewati
waktu boarding di tiket.
Foto terakhir
dikirim saat sudah berada dalam pesawat, dan seperti bulan sebelumnya, kalimat
dibawah foto itu selalu berbunyi :”Ayah sudah siap terbang”, dan juga selalu
dibalas dengan ucapan “Fii amanillah, semoga perjalanannya lancar sampai rumah”.
Handphone berganti dengan mode terbang, kemudian berusaha menikmati perjalanan
dengan dengar podcast yang sudah didownload sebelumnya. Yang sesungguhnya tidak
benar-benar dinikmati, hanya agar penumpang sebelah tidak mengajak ngobrol
karena melihat headset dengan kabel bonus dari handphone Samsung jadul dulu itu
terpasang dengan baik di telinga.
Satu jam perjalanan, sampai di bandara tujuan. Karena larut
malam, tidak ada jemputan, hanya ucapan maaf karena sang istri tidak bisa
jemput karena kemalaman. Repot membawa 2 anak kecil, apalagi jarak rumah ke
bandara lumayan jauh. Dapat dimengerti. Besok anak-anak harus sekolah, dan
menjemput itu akan membuang waktu istirahat mereka.
Pesan taksi bandara, kemudian diantar dengan mulus dan lancar,
karena hari hampir berganti dengan besok, jalanan sudah terlanjur sepi. Obrolan
ringan dengan supir taksi, Kembali membuat kantuk mata hilang. Langganan
katanya. Karena bukan sekali dua saja diantar dengan mobilnya, jadi
cerita-cerita baru selalu mengalir, tanpa takut salah alamat, rumah sudah
dihapalnya dengan baik.
Membuka pagar besi itu dengan sedikit dorongan. Terdengar
bunyi deritan besi penyangga roda beradu dengan roda pagar. Berpikir untuk bisa
memberi sedikit minyak di rodanya besok, agar bunyi berderit itu bisa hilang.
Kembali menutup pagar, lalu mengunci dengan rantai dan gembok
yang selalu disimpan di kotak sepatu dekat pintu masuk rumah. Kemudian mengetuk
pintu kamar. Tanpa jawaban. Wajar saja, jam sudah tinggi, semuanya sudah tidur.
Bergerak kearah jendela, kemudian mengetuk seadanya agar anak-anak tidak bangun,
cukup istri yang terjaga.
Tidak lama, pintu dibuka. Pelukan pertama, yang membuat
rindu sebulan, dan jarak ratusan kilometer itu bisa sirna. Ehh, tidak. Bohong kalau
bilang rindu itu hilang. Bahkan apabila kumpul satu atap pun, rindu itu selalu
ada.
Berbincang sebentar, mengeluarkan barang bawaan. Kue-kue
kesukaan istri, roti pesanan Abang, dan mainan murah yang pasti akan menambah berantakan
ruang tengah. Segera masuk kamar, kemudian mencium dan memeluk 2 anak kecil
itu. Pelukannya terlalu bersemangat, keduanya sempat bangun, namun kembali tidur
karena kantuk yang menang.
Jumat pagi. Sepasang anak kecil itu tentu saja sangat
bersemangat saat melihat sang Ayah ada. Bisa minta buatkan sarapan, bekal, dan
tentu saja momen diantar ke sekolah. Hangatnya pagi itu. Sang Adik selalu
memanggil Ayah dengan panggilan “Ayah ganteng”, walaupun tidak tampil di tivi
seperti artis. Sang Abang yang doyan memeluk, dapat bonus : bisa Jum’atan ke
mesjid didekat sekolah TK nya dulu.Hal yang tidak bisa didapatkannya tanpa sang
Ayah.
Sabtupun begitu, selain antar jemput sekolah, main ke mall
atau sekadar makan diluar adalah hal yang ditunggu. Selalu menyenangkan. Dan
entah apa yang dipikiran mereka, 3 hari ini adalah benar-benar bisa melepas
semuanya, seakan hal menyenangkan ini berlangsung selamanya.
Minggu, suasana sudah mulai membiru. Hawa perpisahan sudah
mulai terasa, tanpa memberi jeda. Penerbangan sengaja dipilih yang paling
malam, agar bisa lebih lama bersama. Dan juga bisa memberi waktu anak-anak bisa
bermain dulu di ruang pengantaran di bandara.
Panggilan menuju ruang tunggu sudah terdengar.
Diperdengarkan 3 kali dengan bahasa berbeda ; sama saja, membuat terburu untuk berpelukan
lagi, salaman lagi, dan mencium kening satu-satu lagi, kemudian saling
melambaikan tangan, dan berusaha tidak menoleh ke belakang lagi agar jiwa
terasa lebih kuat.
Perjalanan berikutnya lebih berat. Selain berpisah setelah 3
hari bersama, rute menuju kontrakan selalu lebih berat karena hari sudah malam.
Entah jalan yang terlalu jauh dari bandara menuju pangkalan bis Damri, rebutan
tempat duduk (bahkan rebutan bis dengan jalur tol) dalam bis di terminal, sampai
betapa menakutkannya menunggu ojek motor online disimpangan stasiun yang gelap
itu.
----------------------------------------------------------------------------------------
Desember,
“Sampai ketemu, Ayah. Jangan lupa bawakan mainan buat Abang.
Rotinya ga usah, yang lama aja ga habis dimakan”. Lalu telepon video itu
ditutup.
Bandara ini terlalu ramai, dan suara yang keluar dari
handphone tanpa headset Bluetooth itu terlalu beradu dengan keadaan sekitar.
Dan seperti biasanya, pesawat tanpa pengumuman delay itu
tetap baru memanggil penumpangnya masuk melewati waktu boarding di tiket.
Foto terakhir dikirim saat sudah berada dalam pesawat, dan
seperti bulan sebelumnya, kalimat dibawah foto itu selalu berbunyi :”Ayah sudah
siap terbang”, dan kali ini dibalas dengan ucapan “Fii amanillah, sampai ketemu
di bandara. Ini anak-anak maksa jemput karena besok mereka masih libur semesteran”.
Handphone berganti dengan mode terbang, kemudian berusaha menikmati perjalanan
dengan dengar podcast yang sudah didownload sebelumnya. Yang sesungguhnya tidak
benar-benar dinikmati, hanya agar penumpang sebelah tidak mengajak ngobrol
karena melihat headset dengan kabel bonus dari handphone Samsung jadul dulu itu
terpasang dengan baik di telinga.
Hari Kamis sudah berganti Jumat, dan sudah lebih dari 3 jam
menunggu di bandara. Itu sudah terlalu lama. Anak-anak sudah hilang semangat bermain, dan tidak mengerti
kenapa pertanyaan “Kapan ayah datang” kepada Bundanya tidak dijawab dengan
kata, namun tangisan, kemudian menarik tangan keduanya, masuk mobil, dan pulang
ke rumah.
Jumat pagi : akhirnya sang Ayah Ganteng ada di tivi,
walaupun bukan artis. Dan tangisan tanpa akhir selalu menyeruak dari rumah itu.
Adik tidak tahu apakah masih bisa memakan roti mentega kesukaannya, dan Abang
tidak tahu dengan siapa Ia akan berangkat sholat Jumat di bulan-bulan berikutnya.



